TOBOALI, CERAPAN.ID – Puluhan warga keturunan Tionghoa Dusun Puput dan sekitanya menggelar Chit Ngiat Pan atau Sembahyang Rebut di Kelenteng Dewi Abadi Dusun Puput, Desa Gadung Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan (Basel), Rabu (30/8/2023) malam.
Gelaran tradisi Chit Ngiat Pan ataupun Sembahyang Rebut merupakan festival rutin dirayakan oleh masyarakat tionghoa di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) khususnya di daerah Basel setiap tanggal 14 atau 15 bulan 7 pada penanggalan kalender China.
Tanpak dalam perayaan tersebut Ketua beserta anggota yayasan Kelenteng Dewi Abadi menyediakan berbagai macam sesajen dari hasil perkebunan untuk seperti nasi, buah-buahan, sayur-sayuran, kue, daging, dan bahan pokok lainnya. Hingga membuat replika mobil dan perahu yang dipercayakan sebagai bahan tranfortasi untuk para arwah yang datang dan pergi ketempat tersebut.
Ketua Kelenteng Dewi Abadi Ulin Wijayanti menyampaikan bahwa sembahyang rebut merupakan festival rutin dirayakan oleh masyarakat tionghoa setiap tanggal 14 atau 15 Bulan 7 penanggalan Kalender China sebagai terbukanya pintu hantu atau bulan hantu gentayangan.
“Perayaan Chit Ngiat Pan atau sembahyang rebut yang dilakukan masyarakat tionghoa khususnya di Kelnteng Dewi Abai bertujuan untuk menghargai para leluhur dengan menyediakan berbagai macam sesajen dari hasil perkebunan,” ujarnya.
“Nah, sesajen yang paling utama di kelenteng Dewi Abadi adalah nasi, karena nasi buat mereka yang sudah tiada pasti datang untuk makan. Nasi kita bentuk seperti kerucut, kalau istilah Tionghoa itu disebut fang san wajib ada saya yakin di semua kelenteng harus ada,” tambah Ulin.
Dijelaskan Ulis bahwa selain nasi pihaknya juga mempersembahkan buah-buahan, sayur-sayuran, kue, daging, dan bahan pokok lainnya.
“Hingga membuat replika mobil dan perahu yang dipercayakan orang tionghoa sebagai bahan tranfortasi untuk para arwah yang datang dan pergi ketempat kelenteng Dewi Abadi dengan cara di bakar,” jelasnya.
Tidak hanya itu, dirinya mengungkapkan bahwa selain dipersembahkan untuk roh-roh yanh gentayangan, ritual tradisi semacam ini diadakan untuk orang-orang yang masih hidup di dunia.
“Jadi, sebenarnya diadakan Chit Ngiat Pan atau sembahyang rebut selain arwah yang gentanyangan, gelaran ritual ini juga dibuat untuk manusia yang masih hidup supaya kita hidup bisa tenang, sehat, damai dan rezeki akan datang,” ungkap Ulin.
Kedati demikian, dirinya mengatakan juga sembahyang rebut tahun 2023 ini, pihaknya memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
“Karena Kelenteng Dewi Abadi tidak mengadakan sembahyang rebut yang biasanya ramai dikunjungi oleh warga sekitar. Ya, memang biasa dikenal hari rebut bisanya saling rebutan pada saat jam 12 malam karena kegembiraan buat kita berasama antar umat manusia beragama untuk saling menghormati. Tapi untuk kelenteng dewi abadi soal hari rebut saya tiadakan karena takut terjadi hal hal yang tidak kita inginkan,” kata Ulin. (Tcc)